Pada
masa pemerintahan Nabi Muhammad saw, mata uang dinar dan dirham diimpor, dinar
dari Romawi dan dirham dari Persia. Besarnya volume impor dinar dan dirham dan
juga barang-barang komoditas bergantung kepada volume komoditas yang diekspor
kedua negara tersebut dan wilayah-wilayah lain yang berada di bawah
pengaruhnya. Lazimnya, uang akan diimpor jika permintaan uang (money demand)
pada pasar internal mengalami kenaikan. Dan sebaliknya, komoditas akan diimpor
jika permintaan uang mengalami penurunan.
Permintaan
terhadap uang selama periode ini secara umum bersifat permintaan transaksi dan
pencegahan. Pelarangan penimbunan, baik uang maupun komoditas, dan talaqqi
rukban tidak memberikan kesempatan terhadap penggunaan uang dengan selain kedua
motif tersebut.
Untuk
menjaga kestabilan ini, beberapa hal berikut dilarang :
- Permintaan yang tidak riil. Permintaan uang adalah hanya untuk
keperluan transaksi dan berjaga-jaga.
- Penimbunan mata uang (At-Taubah:34-35) sebagaimana dilarangnya
penimbunan barang.
- Transaksi talaqqi rukban, yaitu mencegat penjual dari kampung di
luar kota untuk mendapat keuntungan dari ketidaktahuan harga. Distorsi
harga ini merupakan cikal bakal spekulasi.
- Segala bentuk riba (Al-Baqarah: 278). Dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi, sekaligus stabilitas, Islam tidak menggunakan instrument bunga
atau ekspansi moneter melalui pencetakan uang baru atau deficit anggaran.
Yang dilakukan adalah mempercepat perputaran uang dan pembangunan
infrastuktur sektor riil.
Faktor pendorong percepatan perputaran uang adalah kelebihan
likuiditas tidak boleh ditimbun dan tidak boleh dipinjamkan dengan bunga,
sedangkan faktor penariknya adalah dianjurkan qard (pinjaman kebajikan),
sedekah dan kerjasama bisnis berbentuk syirkah atau mudharabah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar